Pengiran
Anum dan keluarganya, termasuk adik laki-lakinya Adji Radin Machkuta (
silsilah I ) dan cucu lelaki saudara sepupu Pengiran Djamaloel Qiram (
silsilah 2 ), berencana kembali ke tanah tumpah darah mereka yaitu
Sebuku. Mereka berpindah tempat untuk sementara waktu ke muara Sembakung
sungai Alet dalam bentuk hijrah Nabi 1265 (p.1,1.1-5) dalam usaha untuk
mensurvei penduduk sebuku yang sudah musnah akibat diserang oleh
kelompok lain, selain juga untuk memberikan penerangan menyangkut
penduduk Tarakan yang berada di sembakung ( Dewall 1855 : 442 ). Adapun
jumlah pengikut Adji Pengiran Anum Adji Radin Alam dan Adji Pengiran
Machkuta Adji Radin Alam, dalam perjalanan itu terdiri dari 50 orang
pria, semua orang dewasa dan membawa persiapan yang cukup untuk
pemukiman baru, membuka wilayah, membuat ladang dan membangun rumah
dengan pola tradisional berpindah-pindah tempat. (lihat juga Guerreiro
dan Sellato 1984; Okushima 1999 : 98-99). Ditempat baru itu mereka masih
mempertimbangkan bahwa istri mereka, anak-anak dan keluarga-keluarga
lain akan bergabung dengan mereka kemudian wilayah pemukiman di
Sembakung, lokasinya di perbesar. Dalam motivasi migrasi ini, teks
menjelaskan latar belakang Etnis Pengiran Anum (p.1,1.6-p.2,1.17).
sekitar 50 tahun sebelumnya, ca.1800, terdapat sejumlah suku Tidung di
Cekungan Sebuku terutama berada di anak sungai Kulamis, Dengusan dan
Sumbol mereka menyebar ke daerah tersebut.
Karena
adanya serangan para prajurit Dayak, Bulungan dan Berau. Suku Dayak
pada umumnya dikenal merupakan kelompok non muslim di pulau ini,
meskipun dalam konteks ini, terdapat suku Segai atau Ga’Ay dan orang –
orang Kayan lainnya, yang dipimpin oleh Raja Muda Bulungan.
Mereka
yang dari Kulamis di bawah pemimpin Pengiran Besar dan saudaranya
Pengiran Digadung kemudian bergerak ke Sembakung. Menurut cerita, bahwa
dua orang itu adalah anak-anak Adji Sempurna Jaya, Putri Wira Digadung,
salah satu dari Raja-raja Bulungan (silsilah 2). Selanjutnya di Dengusan
terdapat pula kelompok lain dibawah pimpinan Pangeran Prabu dan Paduka
Tuan, yang melarikan diri pergi ke Labuk. Di Sumbol terdapat dua
desa/kampung yaitu di sungai sentima di Muara Sumbol, disana tinggal
Maharaja Kahiman atau Raja Kaiman, Raja Muda Kaiman dll dengan
kelompoknya. Dihilir sungai yaitu Kaputan, terdapat desa/kampung lain di
bawah penguasaan kakek Pengiran Anum dan Adji Raden pengiran Mansyah
bin Daking dan tempat kediamannya bernama Kaputan, dalam beberapa cases
dahulu kelompok itu telah diserang oleh Angkatan Prajurit Raja Muda
Bulungan, yang belakangan diketahui berpindah tempat ke Tarakan. Dan
beberapa orang yang selamat berpindah ke daerah lain seperti Labuk.
Di daerah hulu Sumbol, terdapat tujuh pegunungan yang mengapit satu sama lain,
yaitu pegunungan Wasen dan Tambalunan yang dikenal memiliki potensi Gua
sarang burung terbesar waktu itu. Di pegunungan ini suku Tidoeng Sumbol
dengan cara Pewarisnya mengurus gua sarang burung yang terdapat di
dalamnya mencakup Batu Lumpiah dan Batu Maya (Mayo) dari Pengusaan
Pengiran Mansyah.
Untuk
melengkapi Fakta ini sesuai informasi lisan, Maharaja Kahiman masih
diingat oleh suku Tidoeng sampai saat ini oleh karena erat berhubungan
dengan kematiannya dalam serangan Raja Muda Bulungan Sultan Muhammad
(Simad) tahun 1817 .
Konon
diceritakan di masa mudanya bahwa Raja Muda Simad anak Sultan Bulungan
Muhammad Alimuddin dan istrinya dari Berau, banyak memimpin exspedisi di
daerah sekeliling. Dalam perjalanan kembali dari pertempuran melawan
Papa dan Tarakan, ia mendarat di Sebuku dan memaksa suku Segai untuk
keluar dengan serangan mendadak pada salah satu musuh sekutunya, yaitu
orang-orang kampung Maharaja Kahiman dan suku Tidung.
Semua
laki-laki waktu itu dibunuh, sedangkan anak-anak dan perempuan
ditangkap dan dikirim ke istana Bulungan sebagai budak untuk saudara
Perempuan Raja Muda yaitu Adji Guru atau Adji Galu/Galuh .
Pengiran
Anum dan Adji Radin Machkuta membawa Pengiran Djamaloel ke Sebuku dan
memberikan reference atas hal-hal lainnya dalam rangka memelihara
persahabatan dengan suku Tidung Tarakan dan juga untuk mempertunjukan
dukungan politisnya kepada musuh lama, Bulungan dengan alasan-alasan
tersebut di atas, Pengiran Anum dan Adji Radin Machkuta dan Pengiran
Djamaloel ketika itu meminta kepada Sultan Bulungan untuk mengizinkan
mereka kembali tinggal di Sebuku. (p.2,1.21 p.3,1.2).
Sultan periode itu alim Al-Dim (Alimuddin), yang meminta secara langsung kepada
ayahnya
Rajamuda atau sultan Amir Kaharuddin (Simad) di sebutkan berusia
sekitar 40-50 tahun pada tahun 1848 (Hageman 1855 : 77) tetapi ia sangat
mungkin lebih tua lagi. Ia adalah juga dikatakan sudah menurunkan Tahta
Kesultanan ke anak sulungnya Jalaluddin dari dalam tahun yang sama akan
tetapi Sultan yang muda ini adalah sering sakit dan meninggal beberapa
tahun kemudian. Izin diperolah dari Raja Muda, Pengiran Anum Adji Radin
dan Pengiran Djamaloel mengusulkan kepada Sultan untuk menawarkan gua
sarang burung mereka turun temurun diwariskan sebagai biaya untuk
tinggal/hidup didalam wilayah Kesultanan.
Belakangan
diketahui bahwa biaya-biaya itu nutuk membayar pajak (cukai) produk
local yakni 10% menyangkut sarang burung dan gutta- Percha
(p.3,1.14-23). Ketika itu anak Pengiran Anum bertanya tentang pajak itu
(p.12,1.17-p.13,1.1). pemerintah Sebuku yang mana dulu sudah Otonomi,
dari Kesultanan Bulungan dan beberpa suku Tidung masih merasa tidak
beralasan untuk menerima kewajiban ini di bawah penguasa baru, Sultan
juga membebankan kepada mereka dengan hutang berniaga dengan orang
Bulungan, Bugis dan Arab. Bahkan Pengiran Anum menanggung pula hutang
dari hasil gua sarang burung yang berada di Wasan (p.6,1.10-14).
Dengan
begitu, Tidung Sumbol dan Kaputan sepenuhnya menjadi Kekuasaan Mutlak
dari Sultan Bulungan, suatu alas an mengapa Pengiran Anum memberanikan
diri untuk kembali ke tanah tumpah darah Sebuku adalah juga berkaitan
dengan penderitaan orang-orang yang masih hidup di Tarakan. Hal ini
dilihat pada kasus 500 Imigran ke sembakung.
Mereka
yang berada di Tarakan menderita karena kebodohan melakukan aktivitas
perdagaan yaitu bersaing dengan Melayu orang luar, selain tekanan dari
Kesultanan Bulungan dan Pasukan sekutu Belanda ( Dewall 1855 : 442 ).Dengan
demikian kelompok Pengiran Anum, jelas tidak berasal dari Tarakan,
setelah menetap tinggal di sungai Alet, sebuah anak sungai Sembakung,
Pengiran Anum mengabdikan semua hidupnya kepada perbaikan di Sebuku,
bergabung dengan kelompok daerah yang berdekatan dan secara
berangsur-angsur memperbesar jaringan perdagangan sarang burung di
sebuku bagian atas, Wasan dan Tambalunan (p,4,1.1-p.10,1.16).
Kelompok
yang berdekatan dalam wilayah, Tenggalan dan Murut Pengiran Anum telah
melihat komunikasi dengan para pedagang yang berada di daerah pantai
tidak lancar sajak pemberontakan kelompok. Pengiran Anum untuk pertama
bersekutu dengan pemimpin Tenggalan di Sembakung, Sabina dan membangun
bersama-sama desa/kampung baru di sebuku bagian Hilir. Pengiran Anum
menjadikan Sabina sebagai pemandunya untuk mengunjungi Wasan dan disana
ia bertemu dengan 3 orang pemimpin-pemimpin setempat. Dan meminta agar
hak-hak mereka untuk memanen di gua sarang burung di Wasan dan
Tambalunan dapat diberikan.
Selanjutnya
Pengiran Anum menempuh perjalanan yang lebih jauh ke Sumbol bagian
atas, tanah tumpah darah kakeknya dan bersekutu dengan lebih dari tiga
orang pemimpin-pemimpin yang tinggal disana. Ia mengundang enam pemimpin
itu untuk bergabung dengannya menuju Sebuku bagian Hulu dan dibentuk
kembali suatu pemerintahan kecil, bernama negeri SEBUKU (p.10,1.13),
negeri sebuku terdiri dari 6 desa/kampung suku Tidung dan Tenggalan,
pemerintahan yang baru ini secara berangsur-angsur berkembang dengan
ketrampilan tenaga kerjanya dan perlindungan keluarga.
Pengiran Anum tidak pernah melupakan untuk menghormati Pengiran Djamaloel, sebagai
Penguasa tertinggi terdahulu dari Tidung Sebuku, baik dalam pengambilan
keputusan pekerjaan, bisnis sarang burung maupun upacara Islami dan
sebagainya.Berbagai
informasi penting tentang persekutuan dan peristiwa Islamisasi,
kedua-duanya adalah hubungan erat yang dilakukan selama melakukan
kegiatan perdagangan di negeri itu. Pengiran Anum mengikuti jalan atau
iman mereka berdasarkan sumpah ( yakni memotong arang kayu bakau
(petungus apuy) yang terpenggal-penggal dengan berkata : “ jangan
pecahkan iman kami atau kamu akan binasa seperti arang ini “. Mereka
mengikat diri dengan cara menghisap darah satu dengan yang lainnya.
Berhisap
darah, sebagai lambing persaudaraan. Hal ini sudah merupakan hal umum
di ketahui antar orang Islam seperti halnya juga orang Islam.Persekutuan
seperti ini biasa digunakan pula untuk permulaan perdagangan dan
Pengiran Anum lebih dulu memperoleh kepercayaan dari orang-orang sebuku
yang tadinya sangat waspada dan menetang kedatangan orang asing sejak
Ekspedisi Raja Muda. Untuk menunjukkan persahabatannya, Pengiran Anum
juga membawa sejumlah hadiah untuk masyarakat atau orang daerah yang
terisolasi itu, garam, kain dan tembakau, kemudian ia mengundang mereka
untuk berpindah tempat ke hulu sungai di mana mereka bisa membeli barang
lebih mudah. Setelah ter bentuknya persekutuan Tidung Sumbol dan
Tenggalan dapat berkomunikasi dengan yang lainnya semacam guipu yang
terbuat dari tali rotan (tembuku rotan) semua itu secara luas dapat di
lihat di Kalimantan Timur ( sebagai contoh, lihat Kaskija 1992 ).
Mengenai
pengislaman Pimpinan Tenggalan Sabina yang kemudian ingin merubah ke
Islam dan meminta Pengiran Djamaloel untuk menyusun upacara ritual. Suku
Tidung memegang syariat Islam untuk mengawinkan Sabina dan Istrinya.
Sabina juga diberi suatu sebutan terhormat yaitu Pangeran Muda dan
saudara tertuanya yaitu Bengkangan sebagai Pengiran Tua. Semua warga
anak sungai Tenggalan Tikung dan Tulid (anak sungai Sebuku) Gabag (atau
Agabag sub sub kelompok, lihat Appell 1983 ) diundang untuk perkawinan
itu. Mereka sangat senang bahwa mereka tidak secara langsung
diperlakukan dibawah penguasaan Pengiran Djamaloel.
Juga
disebutkan bahwa salah satu ahli nujum mengklaim bahwa Sabina adalah
seorang Budak. Karena itu, Sabina kemudian pergi melarikan diri dan
menculik para budak di Pensiangan, melalui daerah hulu Sembakung. Disana
ia menangkap beberapa murid perempuan Kuban, sebagai istri keduanya.
Dengan cara yang serupa, pemimpin lain Wasan, Kabit berpindah tempat
Sebuku bagian hulu, mengubah kepercayaan Islam.
Pengiran
besar kemudian melanggar aturan ini, ia mengirim lebih banyak kolektor
tanpa izin Pengiran Djamaloel. Sebagai jawaban atas ini, Pengiran
Djamaloel juga meningkatkan jumlah kolektornya untuk memanen.
Pertengkaran ini akhirnya dilaporkan kepada sultan Bulungan.
(p.13,1.12-24). Selanjutnya Sultan Bulungan datang ke desa/kampung
Pengiran Djamaloel bersama dengan Pengiran Besar, di adakan suatu
pertemuan dengan pembicaraan bahwa Pengiran Besar atas hak kekuasaannya
bertindak lebih besar tanpa izin Pengiran Djamaloel disebabkan bukan
asli dari Sebuku tetapi berasal dari Tarakan.
Seperti
halnya Pengiran Anum yang berdarah separuh Tidoeng Tarakan. Pengiran
Anum beragumentasi bahwa ia menjadi Tidoeng Sumbol pertama yang memagar
tempat itu dengan besar yang namun Pengiran Besar telah meninggalkan
atau mengabaikan selama 50 tahun. Lebi-lebih suku Tenggalan juga menolak
dan ingin menciptakan suatu pemberontakan melawan Pengiran Besar, yang
pernah menyerang keluarga mereka, sembakung Tenggalan (p.14,1.20-22).